Dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research Center, ditemukan bahwa 58% mahasiswa enggan bertanya karena takut dinilai kurang pintar oleh teman-temannya. Sementara 22% lainnya menyatakan bahwa mereka pernah mengalami pengalaman buruk ketika bertanya, seperti diremehkan oleh dosen atau teman.
Tetapi apakah ini hanya masalah rasa malu? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?
Saya pernah bertanya langsung kepada mahasiswa: “Kenapa kalian tidak bertanya di kelas?” Jawaban mereka hampir selalu sama:
“Takut salah, Pak.”
“Malu, nanti dikira bodoh.”
“Dosen galak, takut dimarahi.”
“Udah jelas kok, Pak.” (Tapi nanti di grup WhatsApp bertanya panjang lebar)
Dari sini Saya sadar, ini bukan hanya soal individu yang malas bertanya. Ini adalah ketakutan kolektif. Di banyak kelas, bertanya justru dianggap sebagai gangguan. Jika seseorang bertanya, sebagian teman-temannya merasa risih: “Aduh, jadi lama nih kelasnya.” Ada tekanan sosial untuk tetap diam, karena bertanya bisa dianggap mengacaukan alur perkuliahan.
Ketakutan ini ternyata bukan hanya fenomena di kelas, tetapi juga terjadi dalam dunia profesional. Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Harvard Business Review, ditemukan bahwa 64% profesional muda lebih memilih diam dalam pertemuan kerja karena takut pertanyaan mereka dianggap tidak relevan atau terlalu mendasar. Hal ini menunjukkan bahwa budaya takut bertanya tidak hanya bermula di kelas, tetapi juga terbawa ke dunia kerja.
Sejarah membuktikan bahwa keberanian bertanya adalah awal dari perubahan besar. Galileo Galilei bertanya, “Apakah benar bumi adalah pusat alam semesta?” dan hampir dihukum mati karena mempertanyakan keyakinan yang sudah mapan. Marie Curie mempertanyakan batasan ilmu pengetahuan hingga menemukan radioaktivitas. Jika mereka takut bertanya, bagaimana sains dan dunia bisa berkembang?
Tapi lihat bagaimana sistem kita bekerja. Sejak kecil, kita diajarkan bahwa pertanyaan yang baik adalah yang sesuai dengan kurikulum. Pertanyaan di luar konteks sering kali dianggap sebagai gangguan. Mahasiswa diajarkan untuk menerima, bukan untuk menantang. Maka, tidak heran jika di kelas, bertanya menjadi sesuatu yang mengancam harmoni akademik.
Saya ingat suatu kelas di mana seorang mahasiswa dengan suara pelan bertanya tentang konsep yang baru saja dijelaskan. Sebelum sayasempat menjawab, beberapa temannya saling menatap, ada yang berbisik, ada yang tertawa kecil. Mahasiswa itu langsung tersenyum canggung, lalu berkata, “Ah, sudahlah Pak, mungkin saya yang nggak fokus.” Pertanyaan yang seharusnya membuka diskusi justru tertelan oleh tekanan sosial yang membungkam.
Di sisi lain, dalam lingkungan akademik yang lebih terbuka, bertanya justru dianggap sebagai kebiasaan wajib. Di Finlandia, sistem pendidikan mereka mendorong siswa untuk mempertanyakan segalanya sejak usia dini, bukan hanya menghafal jawaban. Di universitas seperti MIT dan Stanford, diskusi terbuka menjadi bagian integral dari kelas, di mana mahasiswa dihargai karena mempertanyakan konsep yang diajarkan, bukan hanya mengulangnya.
Jadi, apakah mahasiswa takut bertanya karena dosen yang galak? Mungkin. Tapi lebih dari itu, mereka takut bertanya karena sistem telah mengajarkan bahwa diam lebih aman. Tidak ada risiko malu, tidak ada risiko terlihat bodoh. Tapi tanpa bertanya, apakah mereka benar-benar belajar? Atau hanya sekadar bertahan dalam sistem yang lebih menghargai jawaban yang benar daripada proses berpikir?
Mungkin pertanyaannya bukan lagi “Kenapa mahasiswa takut bertanya?”, tetapi “Siapa yang mengajarkan mereka bahwa bertanya adalah sesuatu yang berbahaya?”