KEWAJIBAN SESAMA PELAJAR
(Oleh : Buya Hamka)
Apabila beberapa orang murid belajar dibawah tilikan seorang guru atau dibawah sebuah atap sekolah, adalah mereka bersaudara. Teman sekolah, hampir sama dengan saudara sendiri. Sebab itu hendaklah semuanya terikat didalam tali kasih sayang. Persaudaraan yang tersuhur lantara berkhidmat kepada ilmu, lebih tinggi nilainya daripada persaudaraan lantara setali perut.
Masa sekolah adalah usia bunga kembang. Persahabatan yang terikat diantara murid-murid, kadang-kadang kekal sampai tumbuh uban di kepala. Berbagai ragam keadaan murid menurut kemampuan orang tua. Didalam sekolah tidak istilah anak raja, tidak ada anak saudagar dan tidak ada anak tukang rumput. Murid hendaklah menjaga suasana sekolah. Murid yang kaya membantu yang miskin, datangi waktu sakitnya, ikut gembira diwaktu senangnya, ikut susah diwaktu dukanya. Murid yang tidak suka demikian tidaklah dapat dipercaya. Sampai kepada waktu masuknya kepada masyarakat kelak, walaupun segulung besar diploma yang dibawanya, dia akan senantiasa menyisihkan diri dari orang lain, Sehingga orang lain pun enggan mendekatinya. Kalau dia menjadi dokter, niatnya hendak memperbanyak rekening orang, bukan menolong mengobati. Jangan dipanggil dia tengah malam, atau waktu dia menonton bioskop, dan jijik hatinya masuk ke dalam rumah fakir miskin. Kalau dia menjadi advokat, uanglah yang lebih dahulu dibelanya, bukan kebenaran.
Halaman dan pekarangan sekolah adalah tempat melatih budi. Waktu itulah menyesuaikan diri dengan masyarakat yang akan ditempati kelak. Persahabatan dengan kawan sekolah, bukan ketagihan plesir, berjalan berfoya-foya, tetapi persatuan kepentingan, persatuan keinsafan dan rasa cinta kepada bangsa dan tanah air.
Persabahatan murid-murid di dalam sekolah, kejujuran seseorang terhadap yang lain, sehingga tidak berbeda diantara yang kaya dengan yang miskin, baik disekolah yang rendah, sampai kepada sekolah yang tinggi, itulah alamat kemulian ummat di kemudia hari. Dari gedung-gedung sekolah yang tinggi-tinggi itulah muncul fikiran yang mulia-mulia.
Murid-murid yang telah tumbuh perasaan ini padanya, lantaran pergaulannya yang baik, dapatlah menimbulkan kesan pada pergaulannya, perkataanya, perbuatan dan sepakterjangnya. Lama-lama kenallah mereka akan rahasia hidup, yang oleh guru sendiri tidak sempat menganjurkan. Kenal dia akan kekurangan yang ada pada ummat dan bangsanya, di mana penyakit dan apa obatnya. Lebih-lebih kalu di dalam sekolah itu diadakan didikan agama. Karena agamalah azas persendian yang teguh untuk hidup. Dia insaf bahwa tiap-tiap zaman mempunyai kepentingan. Tiap-tiap masa menghendaki sejarah yang baru, tiap-tiap ummat menggantungkan pengharapan kepada pemudanya. Semuanya itu tumbuh sejak dari benih di pekarangan sekolah, berbuah dalam masyarakat. Dalam masa setahun dibelakang, sepuluh tahu atau dua puluh tahun pun.
Dua macam perasaan terhadap ummat, timbul lantaran ilmu. Pertama, perasaan benci lantaran mereka bodoh dan diri sendiri terasa lebih pintar. Oleh sebab itu disisihkan diri jauh-jauh dan tidak mau perduli. Kedua, timbul rasa santun dan kasihan melihat kebodohan dan kekurangan ummat itu. Lantaran santun dan kasih kasihan tumbullah persaan hendak membela dan menolong. Insaf bahwa bagaimanapun menyisihkan diri, tahi mata tidaklah dapat dibuangkan dengan empu kaki. Walaupun bagaiman peseknya adalah hidung kita sendiri juga. Walaupun bagaimana bengkoknya, tangan kita sendiri juga.
Perasaan benci tumbulnya adalah dari ilmu yang kurang matang da lantara hanya pelajaran dan ilmu yang dituntut, dengan tidak disertai pendidikan.
Seketika mulai berdiri pergerakan-pergerakan pembela bangsa di tanah air kita, tampillah ketengah medan orang-orang yang bertitel, seperti Ir. Soekarno, Dr.Soetomo, Drs. Muhammad Hatta, Ir. Anwari, dan lain-lain. Orang-orang ini timbul dari niat yang betul dan pendirian kedua tadi yakni dari cinta dan santun. Lalu mereka tampil ke tengah medan menempuh onak dan duri, kesengseraan dan kesusahan. Tetapi dibelakang mereka tadi ada pula orang-orang yang menyangka mudah memasuki medan itu lantaran mereka bertitel pula. Mereka pun menumpang setelah ombat datang, dan terpelajar-terpelajar yang tulus santun itu ditimpa bahaya, maka orang-orang yang., “ikut-ikut” tadipun lekas-lekaslah menyingsingkan kaki celanya, lari dan tidak terdengar kabar beritanya lagi. Entah dimana titel-titel itu agaknya.
Itu adalah lantaran perjuangan mereka tidak dari “niat”. Niat yang tidak ditanamkan sejak dari bawah atap sekolah, niat yang tidak ditanamkan sejak dari masa ayah melepas pergi sekolah.
Sumber :
Hamka. Lembaga Hidup. Pustaka Panjimas; 1962
#versi asli