PERADABAN informasi yang tidak sempurna selalu menyisakan lubang dalam perkembangannya, kadang kecil dan seringkali besar. Ukurannya akan terlihat pada dampak yang ditimbulkannya.
Sebagaimana disadari bersama, Indonesia saat ini ada dalam era sergapan informasi yang sangat beragam bentuk dan jenisnya. Namun sayangnya secara teknis masih menghadapi kelemahan karena di banyak sisi masih menjadi penikmat/konsumen aktif dan belum menjadi produsen pesan.
Dilalah-nya kondisi ini secara narasi menjadi bermasalah karena dalam sejarahnya kita melewati lompatan fase yang tidak sempurna dari proses membangun peradaban informasi. Tak pernah punya sejarah membaca yang baik secara kolektif. Miris bin tragis.
Asumsi di atas bisa dilihat dari rendahnya tingkat literasi yang belum membaik dari sejak Indonesia merdeka hingga kini. Merujuk data World's Most Literate Nations yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi Indonesia berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti.
Faktanya hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika. Kondisi ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek. Antara lain mencakup lima kategori utama yaitu perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.
Baca juga: Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 merilis data yang terbilang mengerikan, ditemukan hanya 17,66 persen anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67 persen.
Lebih tragis lagi jika kita menelisik data itu lebih dalam, bisa jadi angka sebesar itu didominasi oleh tontonan yang tak bernilai tuntunan. Setidaknya jika kita mau menebak dari komposisi acara yang selama ini dihidangkan oleh stasiun televisi di Indonesia kepada pemirsanya.
Tengok saja survei tatap muka yang telah dilakukan Litbang Kompasakhir Desember 2015 terhadap warga Jakarta, bahwa menonton televisi sudah menjadi "kebutuhan pokok" publik Jakarta.
Dua dari 10 responden menonton televisi di atas 4 jam per hari. Jika dirata-rata, keseharian warga Jakarta menghabiskan 2,5 jam atau 10 persen waktu mereka di depan televisi. Dari beragam acara televisi yang ditayangkan, program acara hiburan, seperti sinetron, infotainment, film, dan musik, merupakan favorit warga Jakarta.
Ringkasnya, Unesco juga pernah mengungkapkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen, yang artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu yang rajin membaca. Miris dan Tragis.
Ternyata kualitas angka literasi kita tidak banyak berubah secara monumental selepas meraih kemerdekaan 72 tahun lalu.
Dengan angka yang dramatis seperti itu tentu saja beragam bentuk informasi bisa hilir mudik secara mudah, karena sistem saringan yang ada secara mandiri atau personal sudah jebol sejak awal. Literasi rendah, platform yang menjamur dan derasnya arus informasi. Terjadilah hang literacy!
Situasi ini bisa dianalogikan ibarat kolam ikan yang luas berisi air yang dangkal, repotnya air yang ada pun bersumber dari mata air yang terbatas dan maaf, kotor. Ditambah, tak ada filterisasi yang memadai di bagian hulu, bisa dibayangkan kolam macam apa yang terbentuk. Penuh jentik dan pusat epidemik penyakit.
Amerika Serikat dengan tingkat literasi tinggi saja, dalam beberapa kesempatan kecolongan untuk menutup lubang informasi ini. Jika ditelisik serius pada dasarnya lubang itu terjadi bukan semata-mata atau ansich dari apa yang menjadi masalah eksternal, tapi secara prinsip karena lemahnya sistem internal.
Budaya berbagi informasi dewasa ini juga semakin mudah dilakukan dengan kemajuan teknologi, beragam pesan berseliweran setiap hari dari mulai yang jenaka, serius, fakta hingga hoaks (kabar bohong).
Daniel H Pink dalam bukunya yang berjudul A Whole New Mindmembagi fase perkembangan kebutuhan ekonomi manusia kedalam empat fase. Singkatnya, terbagi atas era agraris (agricultural age), era industry (industrial age), era informasi (information age) dan era konseptual (conceptual age).
Banyak negara melewati fase informasi yang agak ideal karena dimulai dari budaya baca yang tinggi. Gambaran lengkapnya dapat terlihat dari banyaknya buku yang diproduksi, jurnal yang ditulis, dan kajian yang digagas.
Selanjutnya, mereka secara simultan mampu menerima kehadiran media massa seperti koran, radio, dan televisi secara proporsional.
Terakhir, meskipun media sosial tumbuh di tengah-tengah mereka namun secara efektif telah mampu menjadi platform produksi yang baik, tidak sekadar konsumen atau objek semata.
Kabar baik yang membunuh
Ditengah kabar baik, angka penetrasi internet yang terus naik, dan penjualan smartphone yang menakjubkan, Indonesia punya masalah kronis yang sangat dalam di tataran narasi.
Setidaknya inilah sedikit yang bisa menjelaskan mengapa hoaks dan spamming victim marak di negeri ini. Menjadi masalah keseharian dan diskusi panas yang tak kunjung padam.
Tak cukup sampai di situ, merebaklah perilaku membagi informasi salah dari laman sejenis dan berbeda. Sebut saja itu sebagai fenomena copy and paste atau dalam bahasa keren yang berkonotasi negatif click in monkey.
Anehnya perilaku berbagi informasi yang salah ini dilakukan oleh banyak kelas menengah, yang secara karakteristik relatif terdidik. Entahlah, apakah itu semua terbagi karena sadar, setengah sadar, atau sengaja saja.
Oleh :
Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2017/08/23/20161101/peradaban-copy-and-paste