Budaya kelas yang diam tidak muncul dalam semalam. Ini adalah produk dari bertahun-tahun kebiasaan yang dipupuk oleh sistem pendidikan, norma sosial, dan bahkan ekspektasi dari lingkungan akademik itu sendiri. Sejak kecil, kita diajari bahwa kepintaran diukur dari jawaban yang benar, bukan dari pertanyaan yang menarik. Orang pintar adalah mereka yang menjawab dengan tepat, bukan mereka yang mempertanyakan mengapa jawaban itu benar.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harvard Graduate School of Education, ditemukan bahwa 70% siswa di tingkat sekolah menengah atas merasa lebih nyaman menerima informasi dibandingkan dengan mengajukan pertanyaan. Di tingkat perguruan tinggi, survei dari National Survey of Student Engagement (NSSE) menunjukkan bahwa hanya 27% mahasiswa yang secara aktif berpartisipasi dalam diskusi kelas. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan diam sudah tertanam sejak dini dan terbawa hingga ke pendidikan tinggi.
Kita bisa melihat bagaimana pola ini terbentuk dari pengalaman akademik sehari-hari. Jika seorang siswa bertanya di sekolah dasar, ia mungkin dianggap kritis dan ingin tahu. Namun, jika pertanyaannya dirasa terlalu sederhana, gurunya bisa saja menjawab dengan nada yang kurang mendukung: “Itu seharusnya sudah kamu tahu.” Jika hal ini terjadi berulang kali, siswa mulai memahami bahwa bertanya adalah sesuatu yang tidak selalu dihargai.
Lihatlah dunia ilmuwan. Socrates dihukum mati karena terlalu banyak bertanya. Galileo dipenjara karena mempertanyakan kepercayaan zaman itu. Al-Khawarizmi tidak akan menemukan aljabar jika ia tidak mempertanyakan konsep angka di zamannya. Kita sekarang hidup di era di mana pengetahuan berkembang pesat, tetapi apakah kita benar-benar mendorong mahasiswa untuk mempertanyakan apa yang mereka pelajari?
Saya pernah mengamati mahasiswa dalam sebuah kelas yang aku ajar. Saya sengaja melemparkan pertanyaan terbuka: “Menurut kalian, apa kelemahan dari teori ini?” Sunyi. Tidak ada yang menjawab. Saya memandang mereka satu per satu, mencoba mencari tanda-tanda keinginan untuk berbicara. Beberapa mahasiswa menunduk, berpura-pura sibuk dengan catatan mereka. Ada yang melihat ke arah teman-temannya, mungkin berharap seseorang akan menjawab terlebih dahulu.
Saya mencoba teknik lain. Saya menunjuk satu mahasiswa secara acak dan bertanya, “Apa pendapatmu?” Ia terlihat gugup, lalu menjawab dengan suara pelan, “Saya kurang tahu, Pak.” Saya tersenyum dan berkata, “Bukan masalah tahu atau tidak tahu. Menurut kamu saja.” Ia akhirnya berbicara, meskipun masih ragu. Begitu satu orang berbicara, aku melihat efek domino mulai terjadi—beberapa mahasiswa lain mulai ikut memberikan pendapatnya.
Namun, tidak semua mahasiswa memiliki keberanian seperti itu. Dalam lingkungan akademik yang lebih ketat, pertanyaan yang salah bisa berujung pada rasa malu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Stanford University, ditemukan bahwa mahasiswa yang pernah mengalami pengalaman negatif saat bertanya (misalnya, ditertawakan atau diremehkan) cenderung 40% lebih kecil kemungkinannya untuk mengajukan pertanyaan lagi di kelas berikutnya. Ini membuktikan bahwa trauma akademik dapat mempengaruhi partisipasi dalam jangka panjang.
Sebagai dosen, Saya bertanya kepada diri sendiri: Apakah Saya turut andil dalam membangun budaya diam ini? Apakah caraku menanggapi pertanyaan mahasiswa justru membuat mereka enggan berbicara? Saya mulai sadar bahwa dalam banyak kasus, mahasiswa memilih diam bukan karena mereka tidak tahu, tetapi karena mereka tahu diam adalah pilihan yang lebih aman.
Namun, jika kita terus membiarkan ini terjadi, apakah kita sedang menciptakan generasi yang patuh tetapi tidak kritis? Cerdas tetapi tidak berani? Paham teori tetapi gagap dalam berpendapat?
Saya ingat suatu hari, seorang mahasiswa memberanikan diri bertanya di akhir kelas. Nada suaranya ragu, ia seperti sedang menimbang-nimbang apakah pertanyaannya pantas untuk diajukan. Setelah ia berbicara, aku menanggapinya dengan antusias. Namun yang menarik bukan jawabanku, melainkan reaksi teman-temannya. Sebagian menoleh, ada yang tersenyum kecil, ada juga yang menghela napas seperti berkata “Kenapa sih nambahin pertanyaan? Kita kan udah mau selesai.” Saat itu aku sadar, mahasiswa ini tidak hanya melawan keheningan kelas, tetapi juga menghadapi tekanan sosial dari teman-temannya sendiri.
Jadi, mungkin pertanyaannya bukan lagi "Kenapa mahasiswa diam?", tetapi "Siapa yang membuat mereka memilih diam?" Dan lebih jauh lagi, "Bagaimana kita bisa memecah kebisuan ini?"