“A person who never made a mistake never tried anything new.” – Albert Einstein
Saya berdiri di depan kelas, menatap barisan mahasiswa yang duduk rapi. Saya berbicara, menjelaskan, melempar pertanyaan. Lalu... sunyi. Hening. Tak ada respons. Seakan-akan kata-kata saya menguap di udara sebelum sempat diserap oleh telinga mereka. Saya bisa mendengar suara kipas angin berputar, ketukan pena di meja, dan mungkin suara batin mahasiswa yang sibuk bertanya dalam hati, "Kapan kelas ini selesai?"
Saya pernah berpikir mungkin mereka tidak bertanya karena sudah paham segalanya. Namun, saya segera menyadari betapa naifnya anggapan itu. Nyatanya, mereka tidak bertanya bukan karena mereka tahu, tetapi karena lebih nyaman memilih diam. Lebih aman. Lebih minim risiko. Diam adalah strategi bertahan hidup di kelas.
Mengapa Kelas Kuliah Lebih Sunyi seperti Kuburan?
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh National Survey of Student Engagement (NSSE), ditemukan bahwa hanya 27% mahasiswa yang secara aktif berpartisipasi dalam diskusi kelas. Sisanya memilih diam, baik karena takut salah, merasa pertanyaannya tidak cukup penting, atau sekadar mengikuti kebiasaan mayoritas. Sebuah studi lain dari Pew Research Center menunjukkan bahwa 52% mahasiswa mengaku lebih nyaman bertanya melalui media digital daripada secara langsung di kelas, karena mereka tidak ingin menjadi pusat perhatian.
Setelah kelas selesai, Saya melihat mereka bercanda, berdiskusi, bahkan berdebat tentang banyak hal. Tentang tren, tentang film, tentang gosip terkini. Tapi tidak di dalam kelas. Saat masuk ke ruang akademik, tiba-tiba energi itu lenyap. Mereka bukan bisu. Mereka hanya memilih diam pada waktu dan tempat tertentu.
Saya pernah mencoba eksperimen kecil. Saya sengaja menyelipkan pernyataan keliru dalam penjelasanku. Sesuatu yang jelas salah. Aku menunggu, berharap ada yang mengoreksi, tapi tidak ada yang bicara. Beberapa mahasiswa tampak mengernyit, mungkin merasa ada yang janggal, tapi tidak ada yang mengangkat tangan. Mereka lebih memilih membiarkannya berlalu daripada mengambil risiko mempertanyakan.
Fenomena ini bukan hal baru. Richard Feynman, fisikawan jenius yang terkenal dengan metode pengajarannya yang brilian, pernah mengatakan bahwa "Masalah terbesar dalam pendidikan adalah ketika murid berpikir mereka paham sesuatu, padahal mereka hanya hafal." Banyak mahasiswa tidak bertanya bukan karena mereka benar-benar memahami materi, tetapi karena mereka tidak ingin mempertanyakan apa yang sudah dianggap benar oleh mayoritas.
Jika kita mundur lebih jauh ke sejarah, kita bisa melihat bagaimana Copernicus pada abad ke-16 menghadapi tantangan besar ketika ia mempertanyakan sistem geosentris yang dipercaya selama berabad-abad. Teorinya bahwa bumi bukan pusat alam semesta ditolak mentah-mentah, karena orang lebih nyaman dengan "kebenaran" yang sudah ada. Apakah kita masih berada dalam pola pikir yang sama di kelas-kelas kita hari ini? Bahwa mempertanyakan sesuatu yang dianggap benar adalah tindakan yang berisiko dan lebih baik dihindari?
Dalam banyak kasus, bukan kurangnya rasa ingin tahu yang membungkam mahasiswa, tetapi tekanan sosial yang menanamkan rasa takut. Jika tidak ada yang bertanya, mengapa aku harus bertanya? Jika semua orang diam, mengapa aku harus menanggung risiko terlihat bodoh?
Saya pun mencoba memahami mereka. Mungkin mereka berpikir, “Buat apa bertanya kalau akhirnya hanya mendapat jawaban yang bisa dicari di Google?” Atau mungkin mereka merasa bahwa bertanya hanya akan memperpanjang kelas, menunda waktu pulang, atau bahkan berisiko membuat dosen tersinggung. Jika sudah begini, apakah yang salah adalah mahasiswa, atau sistem pendidikan yang sejak awal tidak memberi ruang aman untuk bertanya?