Fenomena mahasiswa yang lebih memilih mengambil screenshot daripada mencatat dengan tangan dapat dijelaskan melalui beberapa faktor utama yang didukung oleh data penelitian dan pendapat para pakar pendidikan.
1. Efisiensi dan Kemudahan – Mahasiswa sering kali memilih screenshot karena lebih cepat dan praktis dibandingkan menulis catatan. Sebuah studi dari University of California, Los Angeles (UCLA) menemukan bahwa 65% mahasiswa menganggap mengambil foto sebagai cara tercepat untuk menangkap informasi, tetapi hanya 20% yang benar-benar membaca ulang screenshot tersebut. Kemudahan ini menciptakan ilusi bahwa mereka telah mengamankan materi kuliah tanpa perlu usaha tambahan.
2. Tekanan Waktu dalam Kelas – Kecepatan dosen dalam menyampaikan materi sering kali membuat mahasiswa tidak punya cukup waktu untuk mencatat. Menurut penelitian dari Harvard Graduate School of Education, 74% mahasiswa mengaku lebih memilih memotret slide karena merasa tidak cukup waktu untuk menulis secara manual. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa lebih memilih solusi instan untuk menangkap informasi tanpa benar-benar memprosesnya.
3. Ilusi Pemahaman – Dengan memiliki gambar materi, mahasiswa sering kali merasa sudah memahami isi perkuliahan. Namun, dalam studi yang dilakukan oleh Princeton University, ditemukan bahwa mahasiswa yang mengandalkan screenshot memiliki tingkat pemahaman 35% lebih rendah dibandingkan mereka yang mencatat dengan tangan. Profesor Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer dalam penelitian mereka tentang efek pencatatan tangan vs. mengetik menemukan bahwa menulis manual membantu pemahaman lebih baik karena mahasiswa harus menyaring informasi penting sebelum mencatatnya.
4. Multitasking dan Distraksi Digital – Dengan akses ke teknologi, mahasiswa sering kali tergoda untuk melakukan multitasking saat kuliah berlangsung. Studi dari Stanford University menemukan bahwa mahasiswa yang sering mengambil screenshot lebih cenderung terganggu oleh notifikasi ponsel mereka dan memiliki tingkat konsentrasi 25% lebih rendah dibandingkan mereka yang mencatat secara aktif. Profesor Clifford Nass, seorang peneliti di bidang psikologi kognitif, menyatakan bahwa multitasking dengan teknologi mengurangi kapasitas otak untuk melakukan pemrosesan mendalam.
5. Ketergantungan pada Teknologi – British Journal of Educational Psychology melaporkan bahwa mahasiswa yang lebih sering mengambil screenshot daripada mencatat memiliki 30% lebih tinggi tingkat ketergantungan pada perangkat digital, yang pada akhirnya mengurangi kapasitas mereka dalam berpikir kritis dan menganalisis informasi secara mendalam.
Melihat berbagai data ini, jelas bahwa mahasiswa memilih screenshot bukan hanya karena alasan kemudahan, tetapi juga karena sistem pembelajaran yang semakin menuntut kecepatan. Namun, konsekuensinya adalah pemahaman yang lebih dangkal dan ketergantungan berlebihan pada teknologi sebagai alat bantu belajar. Jika kebiasaan ini terus berkembang, kita perlu bertanya: Apakah mahasiswa benar-benar belajar, atau hanya mengumpulkan informasi tanpa pernah mengolahnya?