Pernahkah anda, mengalami atau melihat seorang anak kecil berdialog dengan orangtuanya.
Dalam masa pertumbuhannya, anak kecil memiliki kebiasaan bertanya kepada orangtua, atau
orang dewasa pada umumnya.
Ketika si anak bertanya untuk pertama kali, kita akan memberikan jawaban versi orang dewasa yang "benar".
Jawaban tersebut akan dilanjutkan si anak pada pertanya selanjutnya "mengapa" untuk kedua kalinya.
Kita akan menjadi sedikit gagap dan memberikan respon dengan penuh hati-hati.
Setelah penjelasan kedua, tidak akan otomatis menghentikan 'rasa ingin tahu" anak untuk bertanya
"mengapa" untuk ketigakalinya. dan kita (orang dewasa) sudah lebih siap
sebelum pertanyaan keluar dari mulut anak tersebut.
seketika kita sudah menyiapkan solusi jitu : mengajak si anak ke minimarket terdekat
karena disana ada ice cream.
Dalam setting pendidikan, tidak sedikit kejadian serupa terjadi seperti itu.
Kebebasan anak bertanya tentang segala sesuatu seringkali berakhir dengan
cara-cara yg tidak bisa memuaskan.
dan pada akhirnya terkondisikan untuk enggan bertanya, alasan bertanya pun ikut melemah.
karena takut diaggap tidak sopan jika bertanya banyak, atau
gengsi karena khawatir pertanyaan yang diajukan kurang tepat.
saya pikir, dilema bisa ini berkurang secara perlahan-lahan
jika sistem pendidikan memberikan fleksibilitas, karena sistem sangat jarang sempurna
keengganan bertanya, bertukar informasi antar satu dengan yang lain
bisa jadi juga disebabkan oleh kualitas sistem pembelajaran.
anak, terutama harus bebas bertanya, dan orang dewasa mendengar
jika kita kebetulan sedang berperan sebagai orangtua, atau dosen, guru
tentu paham betul "makna" pertanyaan yang keluar dari mulut si anak.
Bagaiamana jika si anak memang tidak interest bertanya ?
ada berbagai kemungkinan,...
tapi idealnya proses belajar adalah kemauan untuk mengeluarkan
gagasan, ide, baik dalam bentuk pernyataan maupun pertanyaan.
(ide ini terispirasi dari buku-buku ricardo semler)