"We are drowning in information but starved for knowledge." – John Naisbitt
Di era digital ini, mahasiswa tidak lagi membawa buku catatan tebal ke kelas atau sibuk mencatat dengan tulisan tangan seperti generasi sebelumnya. Sebaliknya, mereka hanya perlu mengangkat ponsel, membuka kamera, dan klik!—materi sudah tersimpan dalam hitungan detik. Instan. Cepat. Tidak perlu repot menulis ulang atau mengorganisir catatan secara manual.
Menariknya, perubahan ini juga beriringan dengan tren baru: tas kecil mahasiswa—sebuah simbol minimalisme akademik yang mencerminkan bagaimana mahasiswa lebih memilih membawa barang seminimal mungkin, termasuk materi kuliah yang cukup disimpan dalam bentuk digital. Jika sebelumnya tas besar dipenuhi buku dan alat tulis, kini tas kecil cukup untuk menampung ponsel, dompet, dan sebotol air. Tetapi, apakah ini berarti mahasiswa lebih efisien dalam belajar, atau justru semakin menjauh dari pemahaman mendalam?
Fenomena ini mengingatkan kita pada kebiasaan membaca ringkasan buku tanpa pernah benar-benar membaca buku itu sendiri. Informasi ada di genggaman, tetapi apakah itu diolah menjadi pengetahuan? Jika sekadar menyimpan informasi bisa menggantikan pemahaman, mengapa kita masih membutuhkan proses belajar aktif? Ini adalah pertanyaan yang perlu kita renungkan dalam menghadapi era digital yang semakin bergantung pada akses cepat terhadap informasi.
Fenomena Mahasiswa Screenshot: Menyimpan ≠ Memahami
Saya sering melihat mahasiswa yang sibuk memotret slide presentasi selama perkuliahan. Ketika aku bertanya, "Siapa yang bisa menjelaskan kembali poin ini?" yang kudapat hanya tatapan kosong. Mereka punya gambarnya, tapi tidak punya pemahaman tentang isinya. Banyak yang menganggap bahwa selama mereka memiliki akses ke informasi, mereka otomatis bisa memahami dan menggunakannya nanti. Sayangnya, nanti sering kali berubah menjadi tidak pernah.
Fenomena ini disebut sebagai "cognitive offloading", di mana otak manusia semakin terbiasa bergantung pada perangkat teknologi untuk menyimpan informasi, bukan untuk memprosesnya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harvard University, ditemukan bahwa 78% mahasiswa lebih memilih memotret materi daripada mencatat dengan tangan, tetapi hanya 24% yang benar-benar membaca ulang materi yang telah mereka simpan. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan menyimpan informasi dengan mudah tidak serta-merta berarti mereka akan menggunakannya untuk belajar lebih dalam. Dengan kata lain, ini seperti pola pikir yang mengutamakan efisiensi dan kenyamanan, tetapi sering kali mengorbankan kedalaman pemahaman.
Sebagai perbandingan, mari kita lihat bagaimana metode belajar tradisional masih diterapkan di beberapa institusi top dunia. Di Jepang, misalnya, banyak universitas masih menekankan pentingnya mencatat dengan tangan karena penelitian menunjukkan bahwa proses menulis membantu otak lebih baik dalam memahami dan mengingat informasi. Sebuah studi dari Princeton University mendukung temuan ini, dengan menyatakan bahwa informasi yang ditulis tangan memiliki kemungkinan 45% lebih tinggi untuk diingat dibandingkan informasi yang hanya difoto atau diketik.
Jika kita terus membiarkan kebiasaan ini berkembang tanpa kesadaran kritis, mahasiswa akan semakin terjebak dalam ilusi pemahaman. Mereka mungkin memiliki ribuan gambar catatan dalam ponsel mereka, tetapi jika mereka tidak pernah benar-benar membaca, menganalisis, atau mendiskusikannya, maka apakah informasi itu masih bisa disebut sebagai ilmu?
Dampak Negatif Kebiasaan Screenshot Tanpa Pemahaman
Mahasiswa yang hanya mengandalkan screenshot mengalami beberapa konsekuensi serius, baik dalam aspek kognitif maupun akademik. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa kebiasaan ini dapat berdampak buruk pada efektivitas belajar dan pemahaman konsep secara mendalam.
1. Kurangnya Retensi Jangka Panjang – Menurut penelitian dari Princeton University, informasi yang ditulis tangan memiliki kemungkinan 45% lebih tinggi untuk diingat dibandingkan informasi yang hanya difoto atau diketik. Hal ini terjadi karena proses menulis tangan melibatkan pemrosesan informasi yang lebih mendalam dibandingkan sekadar mengambil foto.
2. Pasif dalam Belajar – Screenshot menciptakan ilusi bahwa materi sudah dipelajari. Menurut riset Harvard University, 70% mahasiswa yang menggunakan screenshot sebagai metode utama belajar mengalami kesulitan saat harus menjelaskan kembali materi yang telah mereka simpan.
3. Ketidakmampuan Menghubungkan Konsep – Studi dari Stanford University menemukan bahwa 80% mahasiswa yang mengandalkan screenshot memiliki kesulitan dalam menghubungkan konsep baru dengan konsep sebelumnya. Mereka tidak benar-benar menganalisis atau mengkritisi informasi yang mereka simpan.
4. Meningkatkan Ketergantungan pada Teknologi – British Journal of Educational Psychology melaporkan bahwa mahasiswa yang lebih sering mengambil screenshot daripada mencatat memiliki 30% lebih tinggi tingkat ketergantungan pada teknologi, yang mengurangi kapasitas mereka dalam berpikir kritis.
5. Mengurangi Aktivitas Kognitif – Dalam eksperimen yang dilakukan oleh Cognitive Neuroscience Society, ditemukan bahwa mahasiswa yang hanya mengambil screenshot memiliki tingkat aktivasi otak yang lebih rendah dibandingkan mereka yang mencatat dengan tangan, yang berarti aktivitas kognitif mereka tidak terlibat dalam memahami materi.
Saya belum pernah melakukan ujicoba di kelas untuk menguji fenomena ini, misal membagi mahasiswa menjadi dua kelompok: satu kelompok mencatat dengan tangan, sementara kelompok lainnya hanya mengambil foto slide presentasi. Tapi saya yakin, mungkin kelompok yang mencatat dengan tangan mendapatkan skor 35-40% lebih tinggi dibandingkan kelompok yang hanya mengandalkan screenshot. Hal ini sesuai pengalaman mengajar selama ini, mahasiswa yang rajin mencatat, biasanya posisi duduknya didepan, dan cenderung memiliki nilai ujian lebih baik.
Pakar pendidikan seperti John Sweller, pencipta teori Cognitive Load Theory, menjelaskan bahwa manusia memiliki kapasitas terbatas dalam memproses informasi. Jika seseorang hanya menyimpan informasi tanpa memprosesnya, informasi itu tidak akan bertahan lama dalam memori kerja dan akan sulit dipindahkan ke memori jangka panjang.
Dengan melihat data ini, jelas bahwa kebiasaan screenshot tanpa pemahaman bukan hanya masalah kecil, tetapi dapat berdampak besar pada efektivitas belajar mahasiswa. Jika kebiasaan ini terus berkembang, apakah kita sedang menciptakan generasi yang sekadar "menyimpan informasi," atau generasi yang benar-benar memahami dan mampu menerapkannya?
Fenomena ini mengingatkanku pada film dokumenter "The Social Dilemma" yang mengkritik bagaimana teknologi telah mengubah cara kita berinteraksi dan berpikir. Media sosial dan informasi instan membuat orang semakin malas untuk berpikir mendalam karena mereka percaya bahwa informasi selalu tersedia kapan saja. Seperti mahasiswa yang merasa cukup dengan mengambil screenshot, pengguna media sosial merasa cukup hanya dengan membaca judul berita tanpa memahami isinya.
Kebiasaan ini berlawanan dengan filosofi yang ditunjukkan dalam film "The Great Debaters" (2007). Film ini mengisahkan sekelompok mahasiswa kulit hitam dari Wiley College yang harus melawan stereotip dan diskriminasi dengan keterampilan berpikir kritis dan argumentasi yang mendalam. Mereka tidak hanya membaca informasi, tetapi benar-benar memahaminya dan menggunakannya dalam perdebatan. Ini adalah contoh nyata bahwa pemahaman lebih penting daripada sekadar menyimpan informasi.